Mungkin kamu
tahunya ada 24 jam dalam sehari. Bagaimana jika kubilang kalau kamu salah? Untuk
jelasnya, akan kuceritakan soal itu nanti. Sekarang aku mohon diri untuk
melakukan sesuatu yang lain. Saat ini aku ingin menghirup keindahan makhluk
yang berada di hadapanku.
Benar kata seorang
manusia dari jenis ras Mongoloid bernama Kong Fu Tze, “Cintailah pekerjaanmu, maka kamu tak perlu kerja sehari pun dalam
hidupmu.” Itulah yang kulakukan sekarang. Memang pekerjaanku adalah
memperhatikan manusia. Mempelajari perbedaan jenis, tingkah laku serta segala
hal seputar kehidupan mereka. Dan yang kulakukan sekarang adalah menikmati setiap
jengkal paras manusia berjenis perempuan yang berada di hadapanku ini. Sungguh
suatu kenikmatan tersendiri mempelajari makhluk yang begitu indah dan sempurna.
Perempuan yang
begitu menarik perhatianku ini bernama Ashta. Aku ingin mengerti dirinya. Ah,
siapa yang kukelabui, sesungguhnya aku justru ingin mengerti perasaan yang
kurasakan ketika melihatnya, ketika berada dekat dengannya. Aku belum menemukan
nama untuk perasaan ini. Dari buku-buku manusia yang pernah kubaca, mereka
banyak membahas tentang sebuah perasaan yang diberi nama ‘cinta’. Ya, mungkin
saja ini ‘cinta’.
Menurutku, terlepas
dari kesempurnaan manusia, mereka punya satu kekurangan. Mereka belum dapat
berkomunikasi secara efektif. Mereka masih berkomunikasi secara verbal satu
sama lain. Masih membutuhkan bahasa sebagai pengantar maksud yang ingin
disampaikan. Dalam satu bahasa pun masih juga ada kesalahpahaman makna. Belum
lagi menyampaikan hal yang lain dari kebenaran. Kalau tidak salah, itu disebut
‘bohong’. Kasihan sekali ya mereka?
Tidak seperti
kaumku. Tuh, baru saja sesama jenisku memberitahuku sesuatu. Kaum kami
berkomunikasi secara telepati. Dalam jarak jauh, kami tidak membutuhkan medium
komunikasi. Tidak seperti manusia yang membutuhkan telepon, televisi, ataupun
internet. Kami tak butuh kotak kecil yang harus dibawa kemana-mana. Kami bisa
mengirimkan pikiran langsung ke lawan bicara kami. Seperti antara aku dan saudaraku
barusan.
Dia bilang
padaku agar tidak menghabiskan waktu terlalu lama dengan manusia berjenis
perempuan ini. Ada tugas lain yang lebih penting yang harus kukerjakan. Untuk
sementara aku harus berpisah dengan Ashta.
Ayo ikuti
perjalananku, dan akan kulanjutkan penjelasanku tentang hari. Mari kita
tinggalkan jalan ini. Sebuah jalan kecil bernama Sebret, yang terletak di
belakang sebuah SMU negeri. Selagi aku berjalan, dedaunan melayang di udara
seolah digantung pada kawat tak tampak, lalu belok kanan di jalan Ragunan.
Di jalan raya,
semua mobil berhenti bak diparkir. Titik-titik air mengambang di dekat ban
mobil yang menggilas genangan air. Pita-pita cahaya merah dan kuning terbentuk
di udara sekitar mobil yang berhenti di belokan menuju jalan Margasatwa.
Waktunya kulanjutkan penjelasanku. Kamu bisa mengimbangi kecepatanku kan?
Sebelum bangsa
Sumeria menjajah Mesopotamia lalu mengembangkan sistem bilangan Babylon, manusia
belum ada yang berfikir untuk memperhitungan kalau waktu dalam sehari itu sama
dengan 24 jam. Sistem sexagesimal yang diterapkan dalam penomoran Babylon
memperhitungkan segalanya dalam kelipatan 6. Oleh karena itu sehari ditetapkan
sebagai 24 jam, atau 4 segmen waktu yang masing-masing terdiri atas 6 jam.
Pagi, petang, malam dan dini hari. Kelemahan dari sistem bilangan Babylon
adalah tidak dikenalnya konsep bilangan 0 atau nol. Padahal bilangan itulah
yang menjadi dasar berkembangnya kepercayaan agama non-semit Timur seperti
Hindu. Bilangan nol ditafsir sebagai simbol kesempurnaan atau shunya.
Maaf menyela,
kamu hampir saja menabrak mobil yang sedang berhenti itu. Kamu mungkin ingin
bertanya kenapa semua mobil berhenti. Atau lebih tepatnya, kenapa segalanya
berhenti. Seperti dedaunan, cipratan air, mobil berbelok. Seolah waktu berhenti.
Dengarkan penjelasanku, niscaya kamu akan mendapat jawabannya.
Shunya adalah awal, akhir,
juga transisi di antaranya. Lagi-lagi berkat bangsa Amerika yang menetapkan
sistem perhitungan 24 jam sehari untuk diberlakukan secara internasional,
manusia menganggap kalau transisi hari menuju hari berikutnya adalah jam 24
atau jam 00:00. Itu salah satu bukti ke-sok-tahu-an
bangsa manusia. Pih! Kaumku lebih
tau.
Bagi bangsa
manusia, waktu berhenti setiap jam 8. Tapi tidak demikian bagi kaum kami. Bagi kami
jam 8 hanyalah awal dari apa yang kami sebut ‘jam transisi’. Setiap jam 8,
selama satu jam penuh kaum kami bisa menyeberang ke ranah manusia. Itulah
mengapa mereka tak pernah melihat kami. Setelah jam transisi usai dan kami
kembali ke ranah kami, waktu berjalan lagi bagi bangsa manusia, dan mereka
selamanya takkan menyadari kalau ada satu jam ekstra dalam hari mereka.
Ya, sejatinya
ada 25 jam dalam sehari. Dalam jam transisi inilah kami berkeliaran di ranah
manusia. Jam transisi ini menjadi satu-satunya kesempatan kami untuk
menjalankan tugas abadi kaum kami: memperhatikan manusia. Karena kodrat kami
yang keluar setiap jam 8 ini, kami disebut sebagai ‘Pejalan Delapan’.
Mungkin hanya umat
Hindu yang paling mendekati dalam mengerti kaum kami. Bagi mereka, angka 8 juga
merupakan angka keramat, bukan angka 6 seperti bangsa Sumeria. 8 dewa Veda, 8
tangan Mahadewa Wisnu, 8 gerbang menuju Nirvana, 8 gerbang cakra dalam tubuh.
Angka delapan merupakan lambang ‘tak terhingga’ yang berdiri tegak. Tidak ada
awal dan akhir dalam angka delapan. Selalu mengalir, tak pernah putus. Delapan
juga adalah shunya.
Kami diberi
umur jauh lebih pendek dari bangsa manusia, karena kami hanya beraktifitas
selama satu jam setiap harinya. Di sisa 24 jam lainnya, memerhatikan dunia
manusia dari jauh. Tapi sang penguasa alam semesta memang Maha Adil. Kami
dianugerahi kecepatan bergerak yang luar biasa. Kami bisa berpindah dari satu
bayangan gelap ke yang lain dalam sekejap.
Di jam 8, banyak
dijumpai bayangan gelap dimana-mana. Karena itulah aku bisa bergerak secepat
ini. Melesat dari satu wilayah gelap ke kegelapan berikutnya. Dalam waktu
sekejap aku sudah melewati jalan Margasatwa, berlanjut Buncit Raya, lalu
Mampang Prapatan. Berbelok di jalan Tendean, Santa, terus sampai ke Trunojoyo.
Tibalah aku di
Kebayoran Baru, tepatnya daerah Melawai. Targetku sedang duduk di tepi jendela
McDonalds Melawai Plaza. Seorang laki-laki paruh baya yang sedang memegang
sepotong paha ayam di depan mulutnya.
Oh ya, ada
satu lagi yang belum sempat kujelaskan. Selain mempelajari manusia dengan memerhatikan
tingkah lakunya, kaum kami juga mempelajari ingatan-ingatan mereka. Bagaimana
caranya? Kami menyedotnya.
Selama 24 jam
para ilmuwan kaum kami menyusun rencana dan membuat daftar target, yang kemudian
diserahkan pada para pekerja, sepertiku. Tugasku adalah menemukan target, lalu
menyedot ingatannya.
Tepat sebelum
aku membuka pintu restoran itu, desir aneh menjalariku. Hawa dingin yang
bermula dari tengkuk lalu menuruni tulang punggung. Sensasi yang tak pernah
kurasakan sebelumnya. Mungkinkah perasaan ini yang disebut oleh bangsa manusia
sebagai ‘takut’?
Karena kaum
kami bisa berkomunikasi dengan cara telepati, aku bisa merasakan jika ada
sesama kaumku di dekatku. Perasaan itu mirip dengan sensasi setrum di belakang
kepala. Karena kaum kami jumlahnya lebih sedikit, aku jarang merasakan itu.
Tapi kali ini rasanya berbeda.
Perasaan ini
cukup untuk membuatku menoleh ke belakang. Mungkin cuma imajinasiku saja, tapi
sepertinya kulihat gerakan di kegelapan. Tentu saja itu tidak mungkin, karena
yang bisa bergerak selama jam transisi hanya kaum kami.
Kuenyahkan
perasaan asing tadi. Kumasuki pintu McDonalds dan berdiri di sebelah targetku. Kutempelkan
ujung jari telunjukku di pelipisnya. Ya, kami juga punya telunjuk. Kami punya
tangan dan kaki berjari lima seperti manusia, selain juga mempunyai sepasang
tangan dan kaki. Hanya saja kulit kami lebih pucat, dan tidak tumbuh rambut. Kami
tidak bisa berdiri tegak dan bangga. Bentuk hidung, mata dan telinga kami tidak
sesempurna kalian. Karena itulah kami selalu menutupi sekujur tubuh dengan
mantel panjang berkerudung.
Persentuhan
antara jari telunjukku dengan pelipis targetku berpendar sejenak. Beberapa saat
kemudian redup lagi. Kulepaskan telunjukku dan kuperhatikan dengan seksama. Cairan
kental berwarna kelabu pekat tersisa di ujung telunjukku. Itulah bentuk
ingatan. Ilmuwan kami mampu menarik informasi yang terkandung di dalamnya, untuk
mengetahui alasan di balik setiap tindakan mereka. Mengapa rangsangan berbeda
menghasilkan emosi yang berbeda pula.
Masih ada
beberapa menit sebelum jam transisi habis. Aku ingin kembali ke tempat Ashta. Lagi-lagi
perasaan ‘takut’ ini menyergap, tepat begitu aku keluar dari Melawai Plaza.
Spontan aku memindai seluruh wilayah. Kali ini aku tidak merasakan ada gerakan
dimanapun, tapi aku tahu aku sedang diawasi. Sambil berhati-hati, kuputuskan
untuk berjalan perlahan melewati jalan Melawai yang ramai dengan mobil berhenti.
Tiba di persimpangan jalan Melawai dan Iskandarsyah, perasaan diawasi itu
mereda. Aku kembali bergerak lincah.
Sebelum
berbelok menuju jalan Mampang dari Tendean, kurasakan ada gerakan di sisi
kananku. Aku melambat untuk lebih merasakan gerakan itu. Ini bukan setrum di
belakang kepala, tapi sama sekali berbeda. Yang bergerak itu jelas bukan
kaumku. Sudut mataku menangkap bayangan berkelebat di antara pasar Mampang
dengan ruko di sebelahnya. Rasa ‘takut’ itu bangkit lagi.
“Siapa di situ?!”
bentakku.
Jika dia
makhluk yang mengawasiku di Melawai tadi, maka dia pasti bukan manusia. Manusia
seharusnya tidak bisa bergerak selama jam transisi.
Perasaan
‘sedang diawasi’ ini sirna kembali, tapi aku belum tenang. Aku kembali berjalan
perlahan. Kalau seperti ini terus, jam transisi akan berakhir sebelum aku sempat
melihat Ashta lagi.
Perasaan itu
mendesir lagi ketika aku berada di depan sebuah gedung besar di jalan Mampang. Kini
lebih kuat. Makhluk apa yang mampu memancarkan kekuatan ini? Kekuatan yang
terasa dingin dan menekan dalam dada, sekaligus melumpuhkan tangan dan kakiku. Tekanan
ini memaksaku untuk menoleh.
Aku tidak
percaya!
Makhluk yang
berdiri di hadapanku adalah manusia, bukan Pejalan Delapan. Tampak di bawah lampu
jalan. Berambut, berkulit gelap dan berdiri tegak. Bagaimana ini mungkin?
Seharusnya,
tak ada makhluk lain yang bisa bergerak selama jam transisi. Satu hal yang
menyedot perhatianku adalah anting berbentuk petir di telinga kanannya, yang
memantulkan cahaya berkilauan.
DUARR!
Bersamaan
dengan suara letusan yang memekakkan telinga, kurasakan hantaman kencang di
muka, dada, lengan dan paha. Mungkin rasanya mirip dengan ditabrak kereta. Aku
melenting di udara sebelum berguling-guling di depan sebuah restoran Padang.
Bagaimana
mungkin seorang manusia bisa mengimbangi gerakan Pejalan Delapan? Dan dari mana
dia punya kekuatan dahsyat yang mampu membuatku terpental seperti itu? Apa ini
kekuatan sejati manusia?
Semua
pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Sialnya aku tidak
berkesempatan untuk mendapatkan jawaban sama sekali, karena jam kegelapan telah
usai. Dunia kembali bergerak, dan mata semua manusia di sekitar kini tertuju
kepadaku.
Kesadaranku
mulai memudar seiring menjalarnya nyeri di ulu hati. Setiap denyut jantung
merampok keenam inderaku satu demi satu. Telingaku berdenging hingga tak ada
suara lain terdengar. Seluruh tubuhku terasa kebas. Bau gosong bercampur logam menutup
semua bau lain. Asin darah memenuhi mulutku. Pandanganku memudar.
+ + +
Tubuhku terasa
seperti hanyut di sungai. Sinar terang menggelitik sudut kelopak mataku.
Ini… pagi
hari?
Rasa nyeri
membakar terasa begitu kubuka mataku, memaksaku untuk mengerjap. Sudut mataku
menangkap empat sosok. Rupanya aku bukan hanyut di arus sungai, melainkan
digotong oleh empat orang. Ketika sakit di mataku mereda, aku bisa melihat
mereka, masing-masing memegang kedua tangan dan kakiku.
“Berat juga
nih orang yak.”
“Rewel, bentar
lagi kita sampe.”
“Mo di bawa
kemana sih emangnya?”
Satu suara
yang tegas dan memerintah menjulang dari ketiga tadi, “Depan situ, ayo angkat
yang bener dong!”
Kemana mereka
membawaku? Aku hanya bisa pasrah sementara sekujur tubuhku lunglai. Lagi-lagi
kurasakan sebuah sensasi baru. Apa ini yang disebut ‘putus asa’?
Kurasakan
kepalaku menghantam sesuatu yang keras, disusul nyeri tajam di tengah punggung.
Suara kayu patah terdengar ketika tubuhku ambruk ke pojok gelap. Aku mengerang
kesakitan. Dua dari empat orang itu mulai menggerayangiku.
“Bah, miskin
dia bos. Gak bawa apa-apaan”
“Yang bener
lo?”
“Bener bos,
dompet aja nggak ada.”
“Masak sih?
Coba gue lihat!”
Baru kusadari ada
sebuah awning kayu menaungiku dari sinar mentari. Sedikit kegelapan yang ada
memulihkan tenagaku, selagi si pemimpin memeriksa saku-saku celana dan mantelku.
Siapa mereka?
Apa mereka manusia? Mengapa mereka jelek seperti kaumku? Namun, sejelek apapun kaumku,
kami tidak memiliki bekas luka atau jahitan, bahkan cincin-cincin logam yang
menembus kulit bibir dan hidung. Mereka lebih buruk.
“Ah, percuma!”
bentak si pemimpin, “Ini mah cuma gembel, udah kita tinggalin aja!”
Dia kecewa
karena tidak menemukan benda berharga di tubuhku.
“Hey… tunggu,”
tegasku dalam suara parau.
Orang yang bertubuh
sedikit gempal menoleh. “B-bos.. dia bangun tuh”
Sambil
berusaha bangkit, aku melanjutkan, “Kalian pikir kalian bisa seenaknya?”
Si pemimpin berbalik.
“Emangnye kenape?” tanyanya menggertak.
Kaumku takkan
mempan dengan gertakan seperti ini. Tanpa banyak bicara kuacungkan tangan ke
arah si pria gempal. Seketika itu sarafku serasa terhubung langsung dengan
kegelapan di sekitarku, seperti menjadi bagian dari tubuhku. Dari kegelapan
muncullah sebentuk benda hitam menyerupai tangan besar, yang menghantam si
gempal. Dia terpental dan menghantam ketiga rekannya.
Dua dari keempat
manusia itu pingsan, dua sisanya menatapku dengan ratapan ngeri. Mereka baru
saja mendapat pelajaran berharga. Jangan pernah mengganggu Pejalan Delapan.
Tampaknya
mengerahkan tenaga besar di siang hari seperti tadi bukan ide yang bagus. Tidak
cukup kegelapan untuk mengisi kembali energiku. Aku pun melunglai dan tersungkur
tak sadarkan diri di pojokan.
+ + +
Aku terbangun
di tempat yang sama. Empat cecunguk yang mencoba menjarahku tadi telah raib.
Sepertinya aku pingsan setelah menggunakan kekuatan sebesar itu di luar jam transisi.
Kaumku tidak
bisa bertahan lama tanpa kegelapan sebagai sumber energi kami. Tahukah kamu
kalau kegelapan itu sejatinya adalah sebuah zat? Materi kegelapan --atau dark matter-- ternyata menyusun sekitar
90% massa alam semesta. Ilmuwan manusia baru berhasil membuktikan itu dalam
sebuah eksperimen yang dilakukan di abad 21. Terlambat betul. Dasar manusia sok
tahu! Pih!
Semburat lembayung
senja mewarnai langit Barat, berarti aku telah pingsan sekitar 6 sampai 8 jam.
Pantas saja tubuhku rasanya lelah sekali. Setiap detik yang kuhabiskan di luar
jam transisi menggerogotiku sedikit demi sedikit.
Langkah gontai
membawaku ke jalan Buncit Raya, tepat di dekat sebuah baliho raksasa yang menampilkan
wajah seorang pemuka agama bersorban putih, berkacamata dan berjenggot rapi.
Bangsa manusia ternyata cukup religius, demikian menyanjung tinggi pemuka
agama.
Serombongan
laki-laki bertutup kepala putih berarak di sebelah kananku. Kumasuki kembali
gang tempat kedatanganku, bersembunyi dari arak-arakan. Jalan raya bukan ide
yang bagus.
Sekian lama
waktu kuhabiskan di ranah manusia, aku belajar begitu banyak dari pada sekedar
mengamati dari ranahku dan mempelajari catatan-catatan tafsir ingatan manusia
yang dituliskan oleh para ilmuwan. Rupanya cara terbaik mempelajari manusia
adalah dengan menghabiskan cukup waktu di dunianya.
Aku belajar
bahwa bangsa kalian itu sungguh beraneka ragam. Ada yang memiliki kekuatan
dahsyat seperti pria beranting petir semalam. Ada yang lebih jelek dan jahat
seperti keempat cecunguk pagi tadi. Dan ada juga yang begitu indah dan meracuni
hati seperti Ashta.
Ah, Ashta… seharusnya
aku mencarinya
Aku menuju jalan
Ragunan melalui jalan tikus dan gang kecil di sela-sela hutan beton bernama
Jakarta ini. Yang terfikirkan olehku hanya menuju jalan Sebret, tempat yang selalu
dilewati Ashta setiap jam 8.
Keluar di
sebuah jalan kecil, klakson sebuah mobil mewah mengagetkanku. Hampir saja aku ditabrak.
Setelah lewat, mobil tersebut berhenti tak jauh dariku. Seseorang keluar dari
pintu belakang dan langsung menghilang ke jalan kecil di dekatnya. Kukengenali
orang itu sebagai sosok di baliho besar tadi, Sang pemuka agama. Didorong oleh
rasa penasaran, kuputuskan untuk mengikutinya.
Rupanya jalan
kecil itu adalah pintu belakang sebuah mesjid besar. Aku bersembunyi di sudut gelap
yang memungkinkanku untuk melihat sang pemuka agama melalui ambang pintu. Dia
sedang berbicara dengan seseorang. Hanya tangan lawan bicaranya yang terlihat
dari tempatku.
“Ini untuk
DP-nya, pastikan kamu menjalankan perintah dengan benar besok,” ujar si lawan
bicara sambil memberikan sepucuk kertas kecil.
“Anda butuh
berapa orang?” tanya si pemuka agama.
“Secukupnya
saja, yang penting proses konstruksi terhenti. Kamu harusnya lebih tahu berapa
orang yang perlu dikerahkan untuk pekerjaan seperti itu,” jawab si tangan.
Sang pemuka
agama mengelus janggutnya yang rapi, “Besok ya? Dan pelunasannya berapa lama
setelah pekerjaan selesai?”
“Dana akan
cair dalam 3 hari.”
“Kita ketemu
di tempat biasa untuk merayakan? Sekalian anda bisa kasih saya pelunasannya langsung
di sana,” lanjut sang pemuka agama sambil menyimpan kertas kecil yang
diberikan.
“Dasar, kamu
ini habib yang gak bosan datang ke Alexis ya?” tukas si tangan sambil tertawa
kecil.
“Hehe, saya
kan juga manusia” jawab sang pemuka agama sebelum berbalik dan meninggalkan
jalan kecil itu.
Satu hal lagi
yang kupelajari dari bangsa kalian, ternyata kalian munafik. Jika dibandingkan
dengan kaumku, kami lebih jujur. Kami selalu mengekspresikan apa yang kami
maksud dan tak pernah menampilkan wajah yang berbeda di tempat lain. Ingatkan
aku untuk menyarankan sang habib pemuka agama sebagai target para ilmuwan
berikutnya.
Perjalanan
menuju jalan Sebret ternyata cukup jauh jika ditempuh dengan kecepatan manusia.
Karena langit masih terang, aku tidak bisa melesat dari satu tempat gelap ke
berikutnya dalam sekejap seperti kemarin malam.
+ + +
Aku tiba di
jalan Sebret menjelang jam 8. Sebentar lagi Ashta lewat. Dan sebentar lagi
memasuki jam transisi, artinya aku bisa kembali ke ranahku. Kudengar suara bus
berhenti di belakangku selama beberapa saat sebelum berjalan lagi. Suara
mesinnya sirna di kejauhan, berganti dengan suara langkah sepatu berhak tinggi.
Ashta!
Langkah itu semakin
mendekat. Aku ingin berbalik untuk melihat wajah indahnya. Tapi tunggu, dia
tidak mengenalku. Aku harus sembunyi. Aku tidak mau dia melihat mukaku yang
buruk rupa dan menjijikan. Langkah itu kini begitu dekat, kemudian berhenti.
Selesailah
sudah
Tapi, mengapa
aku harus bersembunyi? Dia kan tidak pernah melihatku sebelumnya. Dia tidak
mungkin mengenaliku. Dia akan melewatiku begitu saja.
“Kamu… siapa?”
tanyanya.
Jantungku
berhenti. Ini sungguh di luar dugaan. Apa ini artinya dia mengenaliku? Apa
selama ini ketika aku memperhatikannya dalam jam transisi, dia sempat melihatku
juga? Memang secara logis kemungkinan itu ada, tapi kecil sekali.
Aku tidak bisa
menjawab pertanyaannya. Untuk berbalik dan menghadapnya saja tak mampu.
Sepertinya perasaan ini pernah kubaca dalam salah satu catatan para ilmuwan.
Kalau tidak salah namanya ‘gugup’. Tapi bukan rasa ini yang menjadi alasanku.
Aku tidak bisa menjawab karena memang aku tidak punya nama. Tak satupun Pejalan
Delapan memiliki nama. Bagi kami nama itu tidak relevan. Sebuah konsep yang
juga dimengerti oleh seorang pujangga manusia bernama William Shakespeare.
“S-sa..
sayaa..”
“Kamu ngapain
di sini?” tanyanya lagi dengan suara merdunya.
Demikian
indahkah suaranya? Selama ini aku hanya bisa memperhatikannya dalam bisu ketika
membeku di jam transisi. Akhirnya setelah sekian lama aku diberi kesempatan
untuk mendengar suaranya.
Bagaimana
menjawab pertanyaannya yang ini, jika aku juga mempertanyakan hal yang sama?
Tidak seharusnya aku berada di sini. Semua yang kusentuh, kuraba, kuhirup,
kudengar dan kulihat ini bukanlah duniaku, namun, di sinilah aku berada.
“Biar
kujelaskan.”
Aku berkata
demikian, padahal sama sekali tidak terfikir apa yang harus kusampaikan. Aku
bingung harus memulai dari mana. Bagaimana aku bisa sampai di sini? Atau lebih pentingkah
pertanyaan ‘mengapa’, sedang yang dia pertanyakan adalah ‘sedang apa’.
Semua
pemikiran ini membuatku lelah. Aku telah berada di luar ranahku selama hampir
24 jam, dan sudah tak tahan berada di sini lagi. Hampir tak tersisa tenaga
untuk bicara saat ini. Lalu perasaan itu menghantamku. Aku berbalik seketika,
hanya untuk melihat sosok yang membuatku merasakan ‘takut’ kemarin.
Si pria
beranting petir![]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar