Kamis, 24 Mei 2012

Pejalan Delapan


Mungkin kamu tahunya ada 24 jam dalam sehari. Bagaimana jika kubilang kalau kamu salah? Untuk jelasnya, akan kuceritakan soal itu nanti. Sekarang aku mohon diri untuk melakukan sesuatu yang lain. Saat ini aku ingin menghirup keindahan makhluk yang berada di hadapanku.
Benar kata seorang manusia dari jenis ras Mongoloid bernama Kong Fu Tze, “Cintailah pekerjaanmu, maka kamu tak perlu kerja sehari pun dalam hidupmu.” Itulah yang kulakukan sekarang. Memang pekerjaanku adalah memperhatikan manusia. Mempelajari perbedaan jenis, tingkah laku serta segala hal seputar kehidupan mereka. Dan yang kulakukan sekarang adalah menikmati setiap jengkal paras manusia berjenis perempuan yang berada di hadapanku ini. Sungguh suatu kenikmatan tersendiri mempelajari makhluk yang begitu indah dan sempurna.
Perempuan yang begitu menarik perhatianku ini bernama Ashta. Aku ingin mengerti dirinya. Ah, siapa yang kukelabui, sesungguhnya aku justru ingin mengerti perasaan yang kurasakan ketika melihatnya, ketika berada dekat dengannya. Aku belum menemukan nama untuk perasaan ini. Dari buku-buku manusia yang pernah kubaca, mereka banyak membahas tentang sebuah perasaan yang diberi nama ‘cinta’. Ya, mungkin saja ini ‘cinta’.
Menurutku, terlepas dari kesempurnaan manusia, mereka punya satu kekurangan. Mereka belum dapat berkomunikasi secara efektif. Mereka masih berkomunikasi secara verbal satu sama lain. Masih membutuhkan bahasa sebagai pengantar maksud yang ingin disampaikan. Dalam satu bahasa pun masih juga ada kesalahpahaman makna. Belum lagi menyampaikan hal yang lain dari kebenaran. Kalau tidak salah, itu disebut ‘bohong’. Kasihan sekali ya mereka?
Tidak seperti kaumku. Tuh, baru saja sesama jenisku memberitahuku sesuatu. Kaum kami berkomunikasi secara telepati. Dalam jarak jauh, kami tidak membutuhkan medium komunikasi. Tidak seperti manusia yang membutuhkan telepon, televisi, ataupun internet. Kami tak butuh kotak kecil yang harus dibawa kemana-mana. Kami bisa mengirimkan pikiran langsung ke lawan bicara kami. Seperti antara aku dan saudaraku barusan.
Dia bilang padaku agar tidak menghabiskan waktu terlalu lama dengan manusia berjenis perempuan ini. Ada tugas lain yang lebih penting yang harus kukerjakan. Untuk sementara aku harus berpisah dengan Ashta.
Ayo ikuti perjalananku, dan akan kulanjutkan penjelasanku tentang hari. Mari kita tinggalkan jalan ini. Sebuah jalan kecil bernama Sebret, yang terletak di belakang sebuah SMU negeri. Selagi aku berjalan, dedaunan melayang di udara seolah digantung pada kawat tak tampak, lalu belok kanan di jalan Ragunan.
Di jalan raya, semua mobil berhenti bak diparkir. Titik-titik air mengambang di dekat ban mobil yang menggilas genangan air. Pita-pita cahaya merah dan kuning terbentuk di udara sekitar mobil yang berhenti di belokan menuju jalan Margasatwa. Waktunya kulanjutkan penjelasanku. Kamu bisa mengimbangi kecepatanku kan?
Sebelum bangsa Sumeria menjajah Mesopotamia lalu mengembangkan sistem bilangan Babylon, manusia belum ada yang berfikir untuk memperhitungan kalau waktu dalam sehari itu sama dengan 24 jam. Sistem sexagesimal yang diterapkan dalam penomoran Babylon memperhitungkan segalanya dalam kelipatan 6. Oleh karena itu sehari ditetapkan sebagai 24 jam, atau 4 segmen waktu yang masing-masing terdiri atas 6 jam. Pagi, petang, malam dan dini hari. Kelemahan dari sistem bilangan Babylon adalah tidak dikenalnya konsep bilangan 0 atau nol. Padahal bilangan itulah yang menjadi dasar berkembangnya kepercayaan agama non-semit Timur seperti Hindu. Bilangan nol ditafsir sebagai simbol kesempurnaan atau shunya.
Maaf menyela, kamu hampir saja menabrak mobil yang sedang berhenti itu. Kamu mungkin ingin bertanya kenapa semua mobil berhenti. Atau lebih tepatnya, kenapa segalanya berhenti. Seperti dedaunan, cipratan air, mobil berbelok. Seolah waktu berhenti. Dengarkan penjelasanku, niscaya kamu akan mendapat jawabannya.
Shunya adalah awal, akhir, juga transisi di antaranya. Lagi-lagi berkat bangsa Amerika yang menetapkan sistem perhitungan 24 jam sehari untuk diberlakukan secara internasional, manusia menganggap kalau transisi hari menuju hari berikutnya adalah jam 24 atau jam 00:00. Itu salah satu bukti ke-sok-tahu-an bangsa manusia. Pih! Kaumku lebih tau.
Bagi bangsa manusia, waktu berhenti setiap jam 8. Tapi tidak demikian bagi kaum kami. Bagi kami jam 8 hanyalah awal dari apa yang kami sebut ‘jam transisi’. Setiap jam 8, selama satu jam penuh kaum kami bisa menyeberang ke ranah manusia. Itulah mengapa mereka tak pernah melihat kami. Setelah jam transisi usai dan kami kembali ke ranah kami, waktu berjalan lagi bagi bangsa manusia, dan mereka selamanya takkan menyadari kalau ada satu jam ekstra dalam hari mereka.
Ya, sejatinya ada 25 jam dalam sehari. Dalam jam transisi inilah kami berkeliaran di ranah manusia. Jam transisi ini menjadi satu-satunya kesempatan kami untuk menjalankan tugas abadi kaum kami: memperhatikan manusia. Karena kodrat kami yang keluar setiap jam 8 ini, kami disebut sebagai ‘Pejalan Delapan’.
Mungkin hanya umat Hindu yang paling mendekati dalam mengerti kaum kami. Bagi mereka, angka 8 juga merupakan angka keramat, bukan angka 6 seperti bangsa Sumeria. 8 dewa Veda, 8 tangan Mahadewa Wisnu, 8 gerbang menuju Nirvana, 8 gerbang cakra dalam tubuh. Angka delapan merupakan lambang ‘tak terhingga’ yang berdiri tegak. Tidak ada awal dan akhir dalam angka delapan. Selalu mengalir, tak pernah putus. Delapan juga adalah shunya.
Kami diberi umur jauh lebih pendek dari bangsa manusia, karena kami hanya beraktifitas selama satu jam setiap harinya. Di sisa 24 jam lainnya, memerhatikan dunia manusia dari jauh. Tapi sang penguasa alam semesta memang Maha Adil. Kami dianugerahi kecepatan bergerak yang luar biasa. Kami bisa berpindah dari satu bayangan gelap ke yang lain dalam sekejap.
Di jam 8, banyak dijumpai bayangan gelap dimana-mana. Karena itulah aku bisa bergerak secepat ini. Melesat dari satu wilayah gelap ke kegelapan berikutnya. Dalam waktu sekejap aku sudah melewati jalan Margasatwa, berlanjut Buncit Raya, lalu Mampang Prapatan. Berbelok di jalan Tendean, Santa, terus sampai ke Trunojoyo.
Tibalah aku di Kebayoran Baru, tepatnya daerah Melawai. Targetku sedang duduk di tepi jendela McDonalds Melawai Plaza. Seorang laki-laki paruh baya yang sedang memegang sepotong paha ayam di depan mulutnya.
Oh ya, ada satu lagi yang belum sempat kujelaskan. Selain mempelajari manusia dengan memerhatikan tingkah lakunya, kaum kami juga mempelajari ingatan-ingatan mereka. Bagaimana caranya? Kami menyedotnya.
Selama 24 jam para ilmuwan kaum kami menyusun rencana dan membuat daftar target, yang kemudian diserahkan pada para pekerja, sepertiku. Tugasku adalah menemukan target, lalu menyedot ingatannya.
Tepat sebelum aku membuka pintu restoran itu, desir aneh menjalariku. Hawa dingin yang bermula dari tengkuk lalu menuruni tulang punggung. Sensasi yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Mungkinkah perasaan ini yang disebut oleh bangsa manusia sebagai ‘takut’?
Karena kaum kami bisa berkomunikasi dengan cara telepati, aku bisa merasakan jika ada sesama kaumku di dekatku. Perasaan itu mirip dengan sensasi setrum di belakang kepala. Karena kaum kami jumlahnya lebih sedikit, aku jarang merasakan itu. Tapi kali ini rasanya berbeda.
Perasaan ini cukup untuk membuatku menoleh ke belakang. Mungkin cuma imajinasiku saja, tapi sepertinya kulihat gerakan di kegelapan. Tentu saja itu tidak mungkin, karena yang bisa bergerak selama jam transisi hanya kaum kami.
Kuenyahkan perasaan asing tadi. Kumasuki pintu McDonalds dan berdiri di sebelah targetku. Kutempelkan ujung jari telunjukku di pelipisnya. Ya, kami juga punya telunjuk. Kami punya tangan dan kaki berjari lima seperti manusia, selain juga mempunyai sepasang tangan dan kaki. Hanya saja kulit kami lebih pucat, dan tidak tumbuh rambut. Kami tidak bisa berdiri tegak dan bangga. Bentuk hidung, mata dan telinga kami tidak sesempurna kalian. Karena itulah kami selalu menutupi sekujur tubuh dengan mantel panjang berkerudung.
Persentuhan antara jari telunjukku dengan pelipis targetku berpendar sejenak. Beberapa saat kemudian redup lagi. Kulepaskan telunjukku dan kuperhatikan dengan seksama. Cairan kental berwarna kelabu pekat tersisa di ujung telunjukku. Itulah bentuk ingatan. Ilmuwan kami mampu menarik informasi yang terkandung di dalamnya, untuk mengetahui alasan di balik setiap tindakan mereka. Mengapa rangsangan berbeda menghasilkan emosi yang berbeda pula.
Masih ada beberapa menit sebelum jam transisi habis. Aku ingin kembali ke tempat Ashta. Lagi-lagi perasaan ‘takut’ ini menyergap, tepat begitu aku keluar dari Melawai Plaza. Spontan aku memindai seluruh wilayah. Kali ini aku tidak merasakan ada gerakan dimanapun, tapi aku tahu aku sedang diawasi. Sambil berhati-hati, kuputuskan untuk berjalan perlahan melewati jalan Melawai yang ramai dengan mobil berhenti. Tiba di persimpangan jalan Melawai dan Iskandarsyah, perasaan diawasi itu mereda. Aku kembali bergerak lincah.
Sebelum berbelok menuju jalan Mampang dari Tendean, kurasakan ada gerakan di sisi kananku. Aku melambat untuk lebih merasakan gerakan itu. Ini bukan setrum di belakang kepala, tapi sama sekali berbeda. Yang bergerak itu jelas bukan kaumku. Sudut mataku menangkap bayangan berkelebat di antara pasar Mampang dengan ruko di sebelahnya. Rasa ‘takut’ itu bangkit lagi.
“Siapa di situ?!” bentakku.
Jika dia makhluk yang mengawasiku di Melawai tadi, maka dia pasti bukan manusia. Manusia seharusnya tidak bisa bergerak selama jam transisi.
Perasaan ‘sedang diawasi’ ini sirna kembali, tapi aku belum tenang. Aku kembali berjalan perlahan. Kalau seperti ini terus, jam transisi akan berakhir sebelum aku sempat melihat Ashta lagi.
Perasaan itu mendesir lagi ketika aku berada di depan sebuah gedung besar di jalan Mampang. Kini lebih kuat. Makhluk apa yang mampu memancarkan kekuatan ini? Kekuatan yang terasa dingin dan menekan dalam dada, sekaligus melumpuhkan tangan dan kakiku. Tekanan ini memaksaku untuk menoleh.
Aku tidak percaya!
Makhluk yang berdiri di hadapanku adalah manusia, bukan Pejalan Delapan. Tampak di bawah lampu jalan. Berambut, berkulit gelap dan berdiri tegak. Bagaimana ini mungkin?
Seharusnya, tak ada makhluk lain yang bisa bergerak selama jam transisi. Satu hal yang menyedot perhatianku adalah anting berbentuk petir di telinga kanannya, yang memantulkan cahaya berkilauan.
DUARR!
Bersamaan dengan suara letusan yang memekakkan telinga, kurasakan hantaman kencang di muka, dada, lengan dan paha. Mungkin rasanya mirip dengan ditabrak kereta. Aku melenting di udara sebelum berguling-guling di depan sebuah restoran Padang.
Bagaimana mungkin seorang manusia bisa mengimbangi gerakan Pejalan Delapan? Dan dari mana dia punya kekuatan dahsyat yang mampu membuatku terpental seperti itu? Apa ini kekuatan sejati manusia?
Semua pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Sialnya aku tidak berkesempatan untuk mendapatkan jawaban sama sekali, karena jam kegelapan telah usai. Dunia kembali bergerak, dan mata semua manusia di sekitar kini tertuju kepadaku.
Kesadaranku mulai memudar seiring menjalarnya nyeri di ulu hati. Setiap denyut jantung merampok keenam inderaku satu demi satu. Telingaku berdenging hingga tak ada suara lain terdengar. Seluruh tubuhku terasa kebas. Bau gosong bercampur logam menutup semua bau lain. Asin darah memenuhi mulutku. Pandanganku memudar.
+ + +
Tubuhku terasa seperti hanyut di sungai. Sinar terang menggelitik sudut kelopak mataku.
Ini… pagi hari?
Rasa nyeri membakar terasa begitu kubuka mataku, memaksaku untuk mengerjap. Sudut mataku menangkap empat sosok. Rupanya aku bukan hanyut di arus sungai, melainkan digotong oleh empat orang. Ketika sakit di mataku mereda, aku bisa melihat mereka, masing-masing memegang kedua tangan dan kakiku.
“Berat juga nih orang yak.”
“Rewel, bentar lagi kita sampe.”
“Mo di bawa kemana sih emangnya?”
Satu suara yang tegas dan memerintah menjulang dari ketiga tadi, “Depan situ, ayo angkat yang bener dong!”
Kemana mereka membawaku? Aku hanya bisa pasrah sementara sekujur tubuhku lunglai. Lagi-lagi kurasakan sebuah sensasi baru. Apa ini yang disebut ‘putus asa’?
Kurasakan kepalaku menghantam sesuatu yang keras, disusul nyeri tajam di tengah punggung. Suara kayu patah terdengar ketika tubuhku ambruk ke pojok gelap. Aku mengerang kesakitan. Dua dari empat orang itu mulai menggerayangiku.
“Bah, miskin dia bos. Gak bawa apa-apaan”
“Yang bener lo?”
“Bener bos, dompet aja nggak ada.”
“Masak sih? Coba gue lihat!”
Baru kusadari ada sebuah awning kayu menaungiku dari sinar mentari. Sedikit kegelapan yang ada memulihkan tenagaku, selagi si pemimpin memeriksa saku-saku celana dan mantelku.
Siapa mereka? Apa mereka manusia? Mengapa mereka jelek seperti kaumku? Namun, sejelek apapun kaumku, kami tidak memiliki bekas luka atau jahitan, bahkan cincin-cincin logam yang menembus kulit bibir dan hidung. Mereka lebih buruk.
“Ah, percuma!” bentak si pemimpin, “Ini mah cuma gembel, udah kita tinggalin aja!”
Dia kecewa karena tidak menemukan benda berharga di tubuhku.
“Hey… tunggu,” tegasku dalam suara parau.
Orang yang bertubuh sedikit gempal menoleh. “B-bos.. dia bangun tuh”
Sambil berusaha bangkit, aku melanjutkan, “Kalian pikir kalian bisa seenaknya?”
Si pemimpin berbalik. “Emangnye kenape?” tanyanya menggertak.
Kaumku takkan mempan dengan gertakan seperti ini. Tanpa banyak bicara kuacungkan tangan ke arah si pria gempal. Seketika itu sarafku serasa terhubung langsung dengan kegelapan di sekitarku, seperti menjadi bagian dari tubuhku. Dari kegelapan muncullah sebentuk benda hitam menyerupai tangan besar, yang menghantam si gempal. Dia terpental dan menghantam ketiga rekannya.
Dua dari keempat manusia itu pingsan, dua sisanya menatapku dengan ratapan ngeri. Mereka baru saja mendapat pelajaran berharga. Jangan pernah mengganggu Pejalan Delapan.
Tampaknya mengerahkan tenaga besar di siang hari seperti tadi bukan ide yang bagus. Tidak cukup kegelapan untuk mengisi kembali energiku. Aku pun melunglai dan tersungkur tak sadarkan diri di pojokan.
+ + +
Aku terbangun di tempat yang sama. Empat cecunguk yang mencoba menjarahku tadi telah raib. Sepertinya aku pingsan setelah menggunakan kekuatan sebesar itu di luar jam transisi.
Kaumku tidak bisa bertahan lama tanpa kegelapan sebagai sumber energi kami. Tahukah kamu kalau kegelapan itu sejatinya adalah sebuah zat? Materi kegelapan --atau dark matter-- ternyata menyusun sekitar 90% massa alam semesta. Ilmuwan manusia baru berhasil membuktikan itu dalam sebuah eksperimen yang dilakukan di abad 21. Terlambat betul. Dasar manusia sok tahu! Pih!
Semburat lembayung senja mewarnai langit Barat, berarti aku telah pingsan sekitar 6 sampai 8 jam. Pantas saja tubuhku rasanya lelah sekali. Setiap detik yang kuhabiskan di luar jam transisi menggerogotiku sedikit demi sedikit.
Langkah gontai membawaku ke jalan Buncit Raya, tepat di dekat sebuah baliho raksasa yang menampilkan wajah seorang pemuka agama bersorban putih, berkacamata dan berjenggot rapi. Bangsa manusia ternyata cukup religius, demikian menyanjung tinggi pemuka agama.
Serombongan laki-laki bertutup kepala putih berarak di sebelah kananku. Kumasuki kembali gang tempat kedatanganku, bersembunyi dari arak-arakan. Jalan raya bukan ide yang bagus.
Sekian lama waktu kuhabiskan di ranah manusia, aku belajar begitu banyak dari pada sekedar mengamati dari ranahku dan mempelajari catatan-catatan tafsir ingatan manusia yang dituliskan oleh para ilmuwan. Rupanya cara terbaik mempelajari manusia adalah dengan menghabiskan cukup waktu di dunianya.
Aku belajar bahwa bangsa kalian itu sungguh beraneka ragam. Ada yang memiliki kekuatan dahsyat seperti pria beranting petir semalam. Ada yang lebih jelek dan jahat seperti keempat cecunguk pagi tadi. Dan ada juga yang begitu indah dan meracuni hati seperti Ashta.
Ah, Ashta… seharusnya aku mencarinya
Aku menuju jalan Ragunan melalui jalan tikus dan gang kecil di sela-sela hutan beton bernama Jakarta ini. Yang terfikirkan olehku hanya menuju jalan Sebret, tempat yang selalu dilewati Ashta setiap jam 8.
Keluar di sebuah jalan kecil, klakson sebuah mobil mewah mengagetkanku. Hampir saja aku ditabrak. Setelah lewat, mobil tersebut berhenti tak jauh dariku. Seseorang keluar dari pintu belakang dan langsung menghilang ke jalan kecil di dekatnya. Kukengenali orang itu sebagai sosok di baliho besar tadi, Sang pemuka agama. Didorong oleh rasa penasaran, kuputuskan untuk mengikutinya.
Rupanya jalan kecil itu adalah pintu belakang sebuah mesjid besar. Aku bersembunyi di sudut gelap yang memungkinkanku untuk melihat sang pemuka agama melalui ambang pintu. Dia sedang berbicara dengan seseorang. Hanya tangan lawan bicaranya yang terlihat dari tempatku.
“Ini untuk DP-nya, pastikan kamu menjalankan perintah dengan benar besok,” ujar si lawan bicara sambil memberikan sepucuk kertas kecil.
“Anda butuh berapa orang?” tanya si pemuka agama.
“Secukupnya saja, yang penting proses konstruksi terhenti. Kamu harusnya lebih tahu berapa orang yang perlu dikerahkan untuk pekerjaan seperti itu,” jawab si tangan.
Sang pemuka agama mengelus janggutnya yang rapi, “Besok ya? Dan pelunasannya berapa lama setelah pekerjaan selesai?”
“Dana akan cair dalam 3 hari.”
“Kita ketemu di tempat biasa untuk merayakan? Sekalian anda bisa kasih saya pelunasannya langsung di sana,” lanjut sang pemuka agama sambil menyimpan kertas kecil yang diberikan.
“Dasar, kamu ini habib yang gak bosan datang ke Alexis ya?” tukas si tangan sambil tertawa kecil.
“Hehe, saya kan juga manusia” jawab sang pemuka agama sebelum berbalik dan meninggalkan jalan kecil itu.
Satu hal lagi yang kupelajari dari bangsa kalian, ternyata kalian munafik. Jika dibandingkan dengan kaumku, kami lebih jujur. Kami selalu mengekspresikan apa yang kami maksud dan tak pernah menampilkan wajah yang berbeda di tempat lain. Ingatkan aku untuk menyarankan sang habib pemuka agama sebagai target para ilmuwan berikutnya.
Perjalanan menuju jalan Sebret ternyata cukup jauh jika ditempuh dengan kecepatan manusia. Karena langit masih terang, aku tidak bisa melesat dari satu tempat gelap ke berikutnya dalam sekejap seperti kemarin malam.
+ + +
Aku tiba di jalan Sebret menjelang jam 8. Sebentar lagi Ashta lewat. Dan sebentar lagi memasuki jam transisi, artinya aku bisa kembali ke ranahku. Kudengar suara bus berhenti di belakangku selama beberapa saat sebelum berjalan lagi. Suara mesinnya sirna di kejauhan, berganti dengan suara langkah sepatu berhak tinggi.
Ashta!
Langkah itu semakin mendekat. Aku ingin berbalik untuk melihat wajah indahnya. Tapi tunggu, dia tidak mengenalku. Aku harus sembunyi. Aku tidak mau dia melihat mukaku yang buruk rupa dan menjijikan. Langkah itu kini begitu dekat, kemudian berhenti.
Selesailah sudah
Tapi, mengapa aku harus bersembunyi? Dia kan tidak pernah melihatku sebelumnya. Dia tidak mungkin mengenaliku. Dia akan melewatiku begitu saja.
“Kamu… siapa?” tanyanya.
Jantungku berhenti. Ini sungguh di luar dugaan. Apa ini artinya dia mengenaliku? Apa selama ini ketika aku memperhatikannya dalam jam transisi, dia sempat melihatku juga? Memang secara logis kemungkinan itu ada, tapi kecil sekali.
Aku tidak bisa menjawab pertanyaannya. Untuk berbalik dan menghadapnya saja tak mampu. Sepertinya perasaan ini pernah kubaca dalam salah satu catatan para ilmuwan. Kalau tidak salah namanya ‘gugup’. Tapi bukan rasa ini yang menjadi alasanku. Aku tidak bisa menjawab karena memang aku tidak punya nama. Tak satupun Pejalan Delapan memiliki nama. Bagi kami nama itu tidak relevan. Sebuah konsep yang juga dimengerti oleh seorang pujangga manusia bernama William Shakespeare.
“S-sa.. sayaa..”
“Kamu ngapain di sini?” tanyanya lagi dengan suara merdunya.
Demikian indahkah suaranya? Selama ini aku hanya bisa memperhatikannya dalam bisu ketika membeku di jam transisi. Akhirnya setelah sekian lama aku diberi kesempatan untuk mendengar suaranya.
Bagaimana menjawab pertanyaannya yang ini, jika aku juga mempertanyakan hal yang sama? Tidak seharusnya aku berada di sini. Semua yang kusentuh, kuraba, kuhirup, kudengar dan kulihat ini bukanlah duniaku, namun, di sinilah aku berada.
“Biar kujelaskan.”
Aku berkata demikian, padahal sama sekali tidak terfikir apa yang harus kusampaikan. Aku bingung harus memulai dari mana. Bagaimana aku bisa sampai di sini? Atau lebih pentingkah pertanyaan ‘mengapa’, sedang yang dia pertanyakan adalah ‘sedang apa’.
Semua pemikiran ini membuatku lelah. Aku telah berada di luar ranahku selama hampir 24 jam, dan sudah tak tahan berada di sini lagi. Hampir tak tersisa tenaga untuk bicara saat ini. Lalu perasaan itu menghantamku. Aku berbalik seketika, hanya untuk melihat sosok yang membuatku merasakan ‘takut’ kemarin.
Si pria beranting petir![]